Minggu, 04 November 2012

OSTEOPOROSIS


TINJAUAN TEORI OSTEOPOROSIS


1. PENGERTIAN OSTEOPOROSIS
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas masa tulang dan perburukan makroarsitektur tulang hingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. (Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, 2650)
osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. (national Institute Of health (NIH) 2001)
Osteoporosis adalah penyakit tulang metabolic  yang ditandai dengan penurunan densesitas tulang yang parah sehingga mudah terjadi fraktur tulang. (corwin, 340)
Osteoporis adalah penurunan masa total tulang yang diakibatkan oleh perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang  lebih besar dari pada kecepatan pembentukan tulang. (KMB)
 
2.      Bagaimana patofisiologi osteoporosis
Dalam keadaan normal akan terjadi proses resorbsi dan proses pembentukan tulang (remodelling) secara terus-menerus dan terjadi secara seimbang. Setiap ada perubahan dalam keseimbangan ini, misalnya proses resorbsi lebih besar dari proses pembentukan, maka akan terjadi penurunan massa tulang. Struktur  tulang pada penderita osteoporosis menjadi rapuh. Pengeroposan terjadi baik  pada tulang kompak maupun tulang spons.
Kerja osteoklast ( sel penghancur struktur  tulang) melebihi osteoblast (sel pembentuk tulang) sehingga kehilangan massa tulang tidak dapat dihindari dan kepadatan tulang menjadi berkurang. Akibatnya tulang menjadi keropos, tipis dan mudah mengalami patah, terutama pada tulang  pergelangan, dan tulang belakang. Pada umumnya pertumbuhan tulang manusia lengkap pada usia 30 tahun, selain tulang diperbaharui oleh lingkaran remodeling dimana sel-sel yang yang terdapat digantikan oleh osteoklast sehingga setelah beberapa hari terbentuk beberapa rongga resorbsi kemudian osteoklast akan digantikan oleh osteoblast. Densitas tulang menurun bila osteoklast membentuk suatu rongga yang abnormal sehingga tulang kehilangan trabekularnya. Ini terjadi pada periode pasca menopause. Selain itu massa tulang hilang bila osteoblast gagal mengisi rongga resorbsi sehingga terlihat sebagai penipisan trabekula yang tampak pada usia tua. Osteoporosis terjadi oleh karena hasil abnormal dari proses remodeling tulang dimana resorbsi tulang melampaui pembentukan tulang.
 
Osteoporosis terjadi juga karena adanya interaksi yang menahun antara penyebab dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik meliputi : usia, jenis kelamin, ras keluarga, dan bentuk tubuh. Faktor lingkungan meliputi : life style misalnya merokok, minum alkohol, kopi, defisiensi vitamin D dan gizi, jarang berolahraga, dan pemakaian obat-obatan seperti kortikosteroid. Kedua faktor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang, peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya masa tulang yang maksimal dengan resobsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang disebut osteoporosis.
 
3.      Uraikan penyebab osteoporosis
Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan usia, yang dimulai usia sekitar 30 atau 40 tahun. Semakin padat tulang sebelum usia tersebut, semakin kecil kemungkinan terjadi osteoporosis. Resorpsi tulang mulai melebihi pembentukan tulang pada usia dekade keempat atau kelima, pada wanita penipisan tulang yang paling signifikan terjadi selama dan setelah menopause. Penurunan estrogen pasca menopause tampak sangat berperan dalam perkembangan ini pada populasi wanita lansia. Diperkirakan bahwa estrogen menstimulasi aktivitas osteoblast dan membatasi efek stimulasi osteoclast pada hormone paratiroid. Dengan demikian penurunan estrogen menyebabkan perubahan besar pada aktivitas osteoclast. Pria lansia kurang rentan mengalami osteoporosis karena mereka biasanya memiliki tulang yang lebih padat daripada wanita (sekitar 30%), dan kadar hormone reproduktif tetap tinggi sampai pria mencapai usia 80-an. Untuk pria dan wanita, penyebab lain osteoporosis adalah penurunan aktivitas fisik dan ingesti obat tertentu, termasuk kortikosteroid dan beberapa antacid yang mengandung aluminium yang meningkatkan eliminasi kalsium (Corwin.2009). Penyebab lainnya diakibatkan oleh kurangnya vitamin D dan kalsium serta karena keadaan medis penyerta (sindrom malabsorpsi, intoleransi laktosa, penyalahgunaan alcohol, gagal ginjal, gagal hepar dan gangguan endokrin.


4.      Uraikan factor risiko osteoporosis 
Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan
1)      Jenis kelamin
Wanita mempunyai resiko terkena osteoporosis lebih besar daripada pria. Sekitar 80% diantara penderita osteoporosis adalah wanita. Resiko terkena osteoporosis lebih besar setelah wanita mengalami menopause, karena setelah menopause kadar estrogen yang diproduksi ovarium turun drastis. Estrogen berperan penting dalam menjaga kekuatan tulang dengan cara membantu sel pembentuk tulang, sedangkan estrogen ini mulai turun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Pada kenyataannya, semakin cepat menopause, semakin besar resiko timbulnya osteoporosis. Pada umumnya, wanita mengalami menopause pada usia 45-55 tahun.
2)      Umur
Semakin tua umur seseorang, resiko terkena osteoporosis menjadi semakin besar. Osteoporosis merupakan kejadian alami yang terjadi pada tulang manusia sejalan dengan meningkatnya usia. Proses densitas (kepadatan) tulang hanya berlangsung sampai seseorang berusia 25 tahun. Selanjutnya, kondisi tulang akan tetap (konstan) hingga usia 40 tahun. Setelah umur 40 tahun, densitas tulang mulai berkurang secara perlahan. Oleh karenanya, massa tulang akan berkurang seiring dengan proses penuaan. Berkurangnya massa tulang ini akan berlangsung terus sepanjang sisa hidup. Dengan demikian, osteoporosis pada usia lanjut terjadi akibat berkurangnya massa tulang. Pada lansia, kemampuan tulang dalam menghindari keretakan akan semakin menurun. Kondisi ini juga diperparah dengan kecenderungan rendahnya konsumsi kalsium dan kemampuan penyerapannya. Timbulnya berbagai penyakit pada lansia juga akan semakin menurunkan kemampuan penyerapan kalsium maupun meningkatnya pengeluaran kalsium.
3)      Ras
Semakin terang kulit seseorang maka resiko terkena osteoporosis menjadi semakin tinggi. Ras Kaukasia dan Asia memiliki insiden terkena osteoporosis yang lebih besar dibandingkan dengan Ras Afrika-Amerika. Wanita Afrika-Amerika memiliki massa tulang yang lebih padat, rangka tulang dan massa otot yang lebih besar. Antara massa tulang dan massa otot terdapat kaitan yang erat. Semakin besar otot, tekanan pada tulang semakin tinggi dan tulang semakin besar. Ditambah lagi kadar hormone estrogen ras Afrika-Amerika lebih tinggi dibandingkan dengan ras yang lain sehingga wanita Afrika-Amerika cenderung lebih lambat menua daripada wanita kulit putih. Pigmentasi kulit dan tempat tinggal juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Wanita Afrika berkulit gelap dan bertempat tinggal dekat dengan garis khatulistiwa memiliki resiko osteoporosis yang lebih rendah daripada wanita berkulit putih yang tinggal jauh dari garis khatulistiwa, misalnya negara-negara Norwegia dan Swedia.
4)      Riwayat keluarga
Bila salah seorang anggota keluarga (ibu atau nenek) memiliki massa tulang yang rendah atau mengalami osteoporosis maka ada kecenderungan seseorang mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami hal yang sama.
5)      Tipe tubuh
Semakin kecil rangka tubuh maka semakin besar resiko terkena osteoporosis. Demikian pula dengan wanita yang mempunyai tubuh kurus cenderung mempunyai resiko yang lebih tinggi terkena osteoporosis daripada yang mempunyai bentuk tubuh yang lebih besar.
6)      Menopause
Pada masa menopause terjadi kehilangan kalsium dari jaringan tulang. Osteoporosis pada menopause terjadi akibat jumlah estrogen dan progesterone menurun. Hormone estrogen diproduksi wanita dari massa kanak-kanak sampai dewasa. Pada massa menopause, hanya bagian tubuh seperti kelenjar adrenalin dan sel-sel lemak yang memproduksi estrogen, itupun dalam jumlah yang kecil. Hormone tersebut diperlukan utnuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Rendahnya hormone estrogen dalam tubuh akan membuat tulang menjadi keropos dan mudah patah. Selain karena meningkatnya umur, menopause dapat juga terjadi karena pengangkatan ovarium pada wanita. Umumnya pengangkatan ovarium dilakukan sebagai solusi akhir dari penanganan penyakit kandungan, misalnya disebabkan adanya penyakit kanker dan lainnya.
 
Faktor resiko yang dapat dikendalikan
Faktor resiko yang dapat dikendalikan maksudnya yaitu bila faktor-faktor penyebab tersebut dilaksanakan dengan benar maka hal-hal yang tidak diinginkan dapat diantisipasi.
1)      Merokok
Resiko terkena osteoporosis pada perokok dua kali lebih besar disbanding dengan yang bukan perokok. Hal ini disebabkan kandungan zat nikotin yang ada pada rokok akan mempercepat penyerapan tulang. Selain itu, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormone estrogen dalam tubuh berkurang, sehingga susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
2)      Malas olahraga teratur atau kurangnya beraktivitas.
Olahraga yang tidak teratur akan memicu terjadinya osteoporosis, karena olahraga berfungsi memicu sel tulang untuk lebih aktif membentuk massa, sehingga terbentuk tulang yang kuat. Wanita yang malas olahraga akan terhambat proses pembentukan massa tulangnya (osteoblast), juga kepadatan tulang akan berkurang.
3)      Peminum kopi yang berlebihan
Yang dimaksud peminum kopi yang berlebihan adalah apabila seseorang minum kopi tiga cangkir sehari. Apabila hal ini terjadi selama dua minggu saja, maka kafein yang terkandung dalam kopi akan meningkatkan air seni peminum kopi tersebut dan kandungan air seni yang keluar ini lebih banyak mengandung kalsium. Karena kalsium banyak terbuang melalui air seni, akan mengakibatkan terjadinya pengeroposan tulang.
4)      Diet yang buruk
Bila makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan tulang. Makanan sumber kalsium, fosfor dan vitamin D yang dikonsumsi cukup sejak usia dini dapat membantu memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negatif dari berkurangnya keseimbangan kalsium dan mengurangi tingkat kehilangan massa kalsium pada tahun-tahun selanjutnya.
5)      Minum minuman beralkohol
Konsumsi alcohol dalam jumlah yang banyak (lebih dari 2 gelas sehari) dapat merugikan kesehatan karena akan mengganggu proses metabolisme kalsium pada tubuh. Alcohol dapat menyebabkan luka –luka kecil pada dindin lambung yang terjadi beberapa saat setelah minum-minuman beralkohol. Banyaknya luka –luka kecil akibat minum minuman beralkohol akan menyebabkan pendarahan. Hal ini daoat menyebabkan tubuh kekurangan banyak kalsium karena kalsium banyak terdapat dalam darah.
 
5.      Uraikan apa saja komplikasi osteoporosis
Pada tahap lanjut penyakit, penurunan densitas tulang mulai tampak sehingga pasien rentan terhadap fraktur. Karena terapi fraktur sering mengharuskan imobilisasi jangka panjang pada pasien usia lanjut, komplikasi yang dapat muncul seperti konstipasi, pneumonia, tromboembolus paru, sering terjadi dan biasanya merupakan penyebab utama kematian. 
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan tangan


6.      Bagaimana penanganan dan pencegahan osteoporosis
PENATALAKSANAAN
·         Diet kaya kalsium vitamin D yang mencukupi dan seimbang sepanjang hidup dengan peningkatan asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan, dapat melindungi terhadap demineralisasi skeletal. Terdiri atas tiga gelas vitamin D susu skim atau susu penuh atau makanan lain yang tinggi kalsium (missal keju swiss, brokoli kukus, salmon kaleng dengan tulangnya) setiap hari. Untuk meyakinkan asupan kalsium yang mencukupi perlu diresepkan preparat kalsium (kalsium karbonat).
·         Pada menopause, terapi penggantian hormone (HRT=hormone replacement therapy) dengan estrogen dan progesterone dapat diresepkan untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah tulang yang diakibatkannya. Terapi esterogen sering dihubungkan dengan sedikit peningkatan insiden kanker payudara dan endometrial. Maka selama HRT pasien harus diperiksa payudaranya tiap bulan dan diperiksa panggulnya, termasuk usapan papanicolau dan biopsy endometrial (bila ada indikasi) sekali atau dua kali setahun.
·         Obat-obat lain yang dapat diresepkan untuk menangani osteoporosis termasuk kalsitonin, natrium flourida, dan natrium etidronat. Kalsitonin secara primer menekan kehilangan tulang dan diberikan secara injeksi subkutan atau intramuscular. Efek samping (misalnya gangguan gastrointestinal, aliran panas, frekuensi urine) biasanya ringan dan hanya kadang-kadang dialami. Natrium flourida memperbaiki aktivitas osteoblatik dan pembentukan tulang; namun kualitas tulang yang baru masih dalam pengkajian. Namun etidronat yang menghalangi resorpsi tulang osteoblastik sedang dalam penelitian untuk efisiensi penggunaannya sebagai terapi osteoporosis.
PENCEGAHAN
·         Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi system neuromuscular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang.
·         Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun suplementasi.
·         Hindari merokok dan minum alcohol
·         Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada laki-laki dan menopause awal pada wanita
·         Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis
·         Hindari mengangkut barang-barang yang berat pada penderita yang sudah osteoporosis
·         Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat sedative, dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.
·         Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang kurang terpajan pada sinar matahari atau pada penderita fotosensitivitas, misalnya SLE. Bila diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila serum 25 (OH)D menurun maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 25(OH)D harus dipertimbangkan.
·         Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium lebih dari 300 mg/hari maka berikan diuretic tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hri).
·         Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid dengan dosis serendah mugkin dan sesingkat mungkin.
·         Pada penderita Arthtritis Rheumatoid dan arhttritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi rasa nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat arthtritis inflamasif yang aktif.
Daftar Pustaka

  1. Anonym. 2009. http://anakkomik.blogspot.com/2009/12/dasar-dasar-pemeriksaan-densitas-massa.html (akses : 7 November 2011)
2.      Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC) Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
  1. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran.ed. 3. Jakarta: Media Aesculapius.
4.      Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
5.      NANDA Internasional 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC
6.      Purwoastuti, Endang. 2009. Waspada! Osteoporosis. Yogyakarta : Kanisius
  1. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC
8.      Setiohadi, Bambang. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume III. Jakarta : Internapublising
  1. Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester. Ed.8. Jakarta : EGC
10.  Team Medicastore. 2010. Pencegahan Osteoporosis. Web.  http://www.medicastore.com/osteoporosis/artikel_utama/21/Pencegahan_Osteoporosis.html (akses : 11/8/2011)
11.  The National Osteoporosis Foundation. Moving Savely/Protecting The Spine. 2011. http://www.nof.org/aboutosteoporosis/preventingfalls/preventingfalls (Akses : 8/11/2011)
12.  The National Osteoporosis Foundation. Preventing Falls and Broken Bones. 2011. http://www.nof.org/aboutosteoporosis/preventingfalls/preventingfalls (Akses : 8/11/2011)
  1. Wirakusumah, Emma S. 2007. Mencegah Osteoporosis. Jakarta : Penebar Swadaya

Selasa, 30 Oktober 2012

LIMFOMA HODGKIN


A.   KONSEP DASAR PENYAKIT

1.      Definisi Pengertian
·           Limfoma Hodgkin adalah kanker jaringan limfoid, biasanya kelenjar limfe dan limfa. Penyakit ini adalah salah satu kanker yang tersering dijumpai pada orang dewasa muda, terutama pria muda. Terdapat empat klasifikasi penyakit Hodgkin, berdasarkan sel yang terlibat dan apakah bentuk neoplasmanya nodular atau tidak. Dari penentuan stadium penyakit Hodgkin sangat perlu dilakukan, karena dapat memberi petunjuk mengenai pengobatan dan sangat mempengaruhi hasil akhir. Stadium-stadium awal penyakit Hodgkin, stadium I dan II, biasanya dapat disembuhkan. Angka kesembuhan untuk stadium III dan IV cenderung masing-masing adalah 75% dan 60%.
Penyakit Hodgkin adalah suatu penyakit klonal, yang berasal dari suatu sel yang abnormal. Populasi sel abnormal tidak diketahui tetapi tampaknya berasal dari sel B atau T, atau suatu monosit. Sel-sel neoplastik pada penyakit Hodgkin disebut sel Reed-Steinberg. Sel-sel ini terselip diantara jaringan limfoid normal yang terdapat di organ-organ limfoid. (Elizabeth j. Corwin:135)
·         Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin) adalah suatu jenis limfoma yang dibedakan berdasarkan jenis sel kanker tertentu yang disebut sel Reed-Steinberg, yang memiliki tampilan yang khas dibawah mikroskop. Sel Reed-Steinberg memiliki limfositosis besar yang ganas yang lebih besar dari satu inti sel. Sel-sel tersebut dapat dilihat pada biopsi yang diambil dari jaringan kelenjar getah bening, yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop. (Medicastore, 2009)
·         Penyakit Hodgkin (Hodgkin Disease) atau Limfoma Hodgkin ialah limfoma maligna yang khas ditandai oleh adanya sel Reed Steinberg dengan latar belakang sel radang pleomorf (limfosit, eosinofil, sel plasma dan histiosit). (Hematologi Klinik Ringkas, 2007)
·         Penyakit Hodgkin adalah penyakit keganasan tanpa diketahui penyebabnya yang berasal dari sistem limfatika dan terutama melibatkan sistem limfe. (Keperawatan Medikal Bedah 2, 2002 : hlm.957)

2.      Epidemiologi/insiden kasus
Insiden limfoma mengalami peningkatan tiap tahunnya. Sekitar 53% dari keganasan darah yang terjadi tiap tahun adalah limfoma. Di Amerika Serikat angka kejadian limfoma sebanyak 71.380 orang pada tahun 2007 dan merupakan keganasan kelima terbanyak pada pria maupun wanita. Sekitar 12% dari seluruh limfoma adalah jenis limfoma Hodgkin, dan sisanya (sebagian besar) adalah limfoma non-Hodgkin (Detak.com).
Di Amerika, 6000-7000 kasus baru dari penyakit Hodgkin terjadi setiap tahunnya.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria. Penyakit Hodgkin bisa muncul pada berbagai usia, tetapi jarang terjadi sebelum usia 10 tahun.
Paling sering ditemukan pada usia diantara 15-40 tahun dan diatas 55 tahun (medicastore).

3.      Penyebab/faktor predisposisi
Penyebab pasti limfoma Hodgkin masih belum diketahui. Namun, orang yang mengidap penyakit ini atau yang sudah mengalami remisi memperlihatkan mengalami penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel T. selain itu kelompok – kelompok kasus sporadic mengisyaratkan bahwa suatu virus, mungkin dari kelompok herpes, ikut berperan. Mungkin terdapat kecenderungan genetic untuk mengidap penyakit ini. Diperkirakan aktivasi gen abnormal tertentu mempunyai peran dalam timbulnya semua jenis kanker, termasuk limfoma. Penyebabnya tidak diketahui, walaupun beberapa ahli menduga bahwa penyebabnya adalah virus, seperti virus Epstein Barr dan penyakit ini tampaknya tidak menular.

Faktor Risiko dan Pencegahan
Penyebab limfoma tidak diketahui, namun terdapat beberapa faktor risiko terkait timbulnya penyakit limfoma, yaitu :
·         Orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau yang mendapat terapi imunosupresan memiliki risiko tinggi untuk timbulnya limfoma.
·         Orang yang sering kontak dengan herbisida atau pestisida, misalnya petani.
·         Infeksi virus Epstein-Barr atau human T-cell lymphocytotropic virus (HTLV). HTLV menyebabkan limfoma sel T (T-cell lymphoma).
·         Ada keluarga yang menderita penyakit ini
·         Jenis kelamin laki-laki.

4.      Patologi/patofisiologi terjadinya penyakit
Sistem limfatik membawa tipe khusus dari sel darah putih (limfosit) melalui pembuluh getah bening ke seluruh jaringan tubuh, termasuk sumsum tulang. Tersebarnya jaringan ini merupakan suatu kumpulan limfosit dalam nodus limfatikus yang disebut kelenjar getah bening. Limfosit yang ganas (sel limfoma) dapat bersatu menjadi kelenjar getah bening tunggal/dapat menyebar di seluruh tubuh, bahkan hampir di semua organ. Hal ini dapat kita sebut sebagai keganasan dari sistem limfotik atau Limfoma. Limfoma dibedakan berdasar jenis sel kanker tertentu, yaitu limfoma hodgkin dan limfoma non hodgkin. Penyebab terjadinya limfoma hodgkin tidak diketahui secara pasti, tapi terdapat beberapa faktor risiko terjadinya penyakit ini, antara lain: orang yang terinfeksi HIV AIDS, orang yang terinfeksi virus epstein-barr (HTLV), usia 15-40 th, >55 th, jenis kelamin laki-laki. Penyakit ini ditandai dengan adanya sel reed-steinberg yang dikelilingi oleh sel radang pleomorf. Sel reed-steinberg ini memiliki limfosit besar yang ganas yang lebih besar dari satu inti sel, yang bersifat patologis. Hal inilah yang menjadi penanda utama limfoma hodgkin.

5.      Klasifikasi Limfoma Hodgkin
Menurut Rye, penyakit Hodgkin diklasifikasikan ke dalam empat kelompok berdasarkan karakteristik dasar jaringan yang terlihat di bawah mikroskop.
1)      Tipe Limfosit Predominan (Lymphocyte Predominance)
Tipe ini merupakan 3% - 5% dari kasus penyakit Limfoma Hodgkin. Gambaran mikroskopik dari tipe ini yaitu terdapat limfosit kecil yang banyak dan hanya sedikit sel Reed-Steinberg yang dijumpai. Dapat bersifat nodular atau difus. Perjalanan penyakit ini tergolong lambat.
2)      Tipe Sklerosis Noduler (Nodular Sclerosis)
Tipe ini merupakan tipe yang paling sering dijumpai, sekitar 40% - 69% dari seluruh penyakit Hodgkin, dimana gambaran mikroskopisnya ditandai oleh fibrosis dan sklerosis yang luas, dimana suatu jaringan ikat mulai dari kapsul kelenjar kemudian masuk ke dalam, mengelilingi kapsul abnormal. Dijumpai sel lakuna dan sejumlah kecil sel Reed-Steinberg. Perjalanan penyakit ini tergolong sedang.
3)      Tipe Selularitas Campuran (Mixed Cellularity)
Tipe ini merupakan 25%-30% dari penyakit Hodgkin. Pada gambaran mikroskopik terdapat sel Reed-Steinberg dalam jumlah yang sedang dan seimbang dengan jumlah limfosit
4)      Tipe Deplesi Limfosit (Lymphocyte Depleted)
Tipe satu ini merupakan penyakit yang jarang ditemui yaitu sekitar kurang dari 5% kasus dari Limfoma Hodgkin, namun tipe ini termasuk tipe yang cepat dan agresif. Pada gambaran mikroskopik ditemukan banyak sel Reed-Steinberg sedangkan sedikit sel limfosit.
Tipe ini dibagi menjadi dua yaitu subtipe retikuler (sel Reed-Steinberg dominan dan sedikit limfosit) dan subtipe fibrosis difus (kelenjar getah bening diganti oleh jaringan ikat yang tidak teratur, dijumpai sedikit limfosit, dan sel Reed-Steinberg juga terkadang dalam jumlah yang sedikit.

Menurut Cotswolds (1990) yang merupakan modifikasi dan klasifikasi Ann Arbor (1971), Limfoma Hodgkin diklasifikaskan menjadi 4 stadium menurut tingkat keparahannya :
·         Stadium I : Kanker hanya terbatas pada satu daerah kelenjar getah bening saja atau pada satu organ
·         Stadium II : Pada stadium ini, sudah melibatkan dua kelenjar getah bening yang berbeda, namun masih terbatas dalam satu wilayah atas atau bawah diafragma tubuh
·         Stadium III : Jika kanker telah bergerak ke kelenjar getah bening atas dan juga bawah diafragma, namun belum menyebar dari kelenjar getah bening ke organ lainnya.
·         Stadium IV : Merupakan stadium yang paling lanjut. Pada stadium iniyang terkena bukan hanya kelenjar getah bening, tapi juga bagian tubuh lainnya, seperti sumsum tulang atau hati.
Menurut klasifikasi Ann Arbor, penentuan stadium didasarkan jenis patologi dan tingkat keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah, sedang, atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja yang baru.
·         Formulasi kerja yang baru
-          Tingkat rendah: Tipe yang baik
1.      Limfositik kecil
2.      Sel folikulas, kecil berbelah
3.      Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah
-          Tingkat sedang: Tipe yang tidak baik
1.      Sel folikulis, besar
2.      Sel kecil berbelah, difus
3.      Sel campuran besar dan kecil, difus
4.      Sel besar, difus
-          Tingkat tinggi: Tipe yang tidak menguntungkan
1.      Sel besar imunoblastik
2.      Limfoblastik
3.      Sel kecil tak berbelah

Klasifikasi menurut WHO :
·         Nodular lymphocyte predominance Hodgkin lymphoma (nodular LPHL) : tipe ini mempunyai sel limfosit dan histiocyte, CD-20 positif tetapi tidak memberikan gambaran RS-cell
·         Classic Hodgkin Lymphoma : Lymphocyte rich, nodular sclerosis, mixed cellularity, lymphocyte depleted.

6.      Gejala klinis
Penyakit Hodgkin biasanya berawal sebagai pembesaran nodus limfe tanpa nyeri, pada salah satu sisi leher, yang menjadi sangat besar. Setiap nodus teraba kenyal dan tidak nyeri. Selanjutnya nodus limfe di daerah lain, biasanya di sisi leher sebelahnya, juga membesar dengan proses yang sama. Nodus limfe mediastinal dan retroperitoneal kadang-kadang membesar, menyebabkan gejala penekanan memberat : tekanan terhadap trakea menyebabkan sulit bernapas ; penekanan terhadap esofagus menyebabkan sulit menelan; penekanan pada saraf menyebabkan paralisis faringeal dan neuralgia brakial, lumbal, atau sakral ; penekanan pada vena dapat mengakibatkan edema pada salah satu atau kedua ekstremitas dan efusi ke pleura atau peritonium ; dan penekanan pada kandung empedu menyebabkan ikterik obstruktif. Akhirnya limpa menjadi teraba, dan hati menjadi membesar. Pada beberapa pasien nodus pertama yang membesar adalah yang berada di ketiak atau selangkangan. Terkadang, penyakit bermula di nodus mediastinum atau peritoneal dan tetap terbatas di sana. Pada pasien lain, pembesaran limpa satu-satunya lesi.
Kemudian terjadi anemia progresif. Jumlah leukosit biasanya tinggi, dengan jumlah polimorfonuklear (PMN) yang meningkat secara abnormal dan peningkatan jumlah eosinofil. Sekitar separuh pasien mengalami demam ringan, dengan suhu yang jarang melebihi 38,3 oC. Namun pasien yang mengalami keterlibatan mediastinal dan abdominal dapat mengalami demam tinggi intermiten. Suhunya dapat naik 40,0 0C selama periode waktu 3-14 hari, kemudian kembali normal dalam beberapa minggu.
Apabila penyakit tidak ditangani, perjalanannya akan berlanjut : pasien akan kehilangan berat badan dan menjadi kakeksia (kelemahan secara fisik), terjadi infeksi, anemia, timbul edema anasarka (edema umum yang berat), tekanan darah turun, dan kematian pasti terjadi dalam 1-3 tahun tanpa penanganan.

7.      Pemeriksaan fisik
·         Inspeksi  :
-          Terdapat pembengkakan kelenjar di leher, ketiak, atau pangkal paha
-          Terlihat bahu merosot
-          Terdapat sianosis
-          Wajah tampak pucat
-          Klien tampak lemah
-          Terdapat pembengkakan atau cekungan yang spesifik di bagian ulu hati (splenomegali)
·         Palpasi    :
-          Edema teraba kenyal seperti karet
-          Kekuatan otot menurun
-          Badan teraba hangat
-          CRT > 3 detik

8.      Pemeriksaan diagnostik
Beberapa prosedur digunakan untuk menentukan stadium dan menilai penyakit Hodgkin:
1.         Pemeriksaan rontgen dada membantu menemukan adanya pembesaran kelenjar di dekat jantung.
2.         Limfangiogram bisa menggambarkan kelenjar getah bening yang jauh di dalam perut dan panggul.
3.         CT scan lebih akurat dalam menemukan pembesaran kelenjar getah bening atau penyebaran limfoma ke hati dan organ lainnya.
4.         Skening gallium bisa digunakan untuk menentukan stadium dan menilai efek dari pengobatan.
5.         Laparatomi (pembedahan untuk memeriksa perut) kadang diperlukan untuk melihat penyebaran limfoma ke perut.

Pemeriksaan darah dapat bervariasi dari secara lengkap normal sampai abnormal. Pada tahap I sedikit klien mengalami abnormalitas hasil pemeriksaan darah.
·         SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.
·         Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap (gejala lanjut).
·         SDM dan Hb/Ht : menurun.
·         Pemeriksaan SDM : dapat menunjukkan normositik ringan sampai sedang, anemia normokromik (hiperplenisme).
·         LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau penyakit malignansi. Berguna untuk mengawasi klien pada perbaikan dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.
·         Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat
·         Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang digantikan oleh limfoma dan oleh hipersplenisme)
·         Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun, hasil negatif biasanya terjadi pada penyakit lanjut.
·         Besi serum dan TIBC : menurun.
·         Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.
·         Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.
·         Asam urat serum : meningkat sehubungan dengan destruksi nukleoprotein dan keterlibatan hati dan ginjal.
·         BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin, ASL (SGOT), klirens kreatinin dan sebagainya mungkin dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan organ.
·         Hipergamaglobulinemia umum : hipogama globulinemia dapat terjadi pada penyakit lanjut.
·         Foto dada : dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat, nodulus atau efusi pleural
·         Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang nyeri tekan : menentukan area yang terkena dan membantu dalam pentahapan.
·         Tomografi paru secara keseluruhan atau scan CT dada : dilakukan bila adenopati hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediatinum.
·         CT scan abdominal : mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit nodus pada abdomen dan pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada pemeriksaan fisik.
·         Ultrasound abdominal : mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal.
·         Scan tulang : dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang.
·         Skintigrafi Galliium-67 : berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodul, khususnya diatas diagfragma.
·         Biopsi sumsum tulang : menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
·         Biopsi nodus limfa : membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada adanya sel Reed-Steinberg.
·         Mediastinoskopi : mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal.
·         Laparatomi pentahapan : mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen nodus retroperitoneal, kedua lobus hati dan atau pengangkatan limfa (Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan resiko infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali klien mengalami manifestasi klinis penyakit tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.

9.      Therapy/tindakan penanganan
Tujuan terapi adalah menghancurkan sel kanker sebanyak mungkin dan mencapai remisi. Dengan penanganan yang optimal, sekitar 95% klien limfoma Hodgkin stadium I atau II dapat bertahan hidup hingga 5 tahun atau lebih. Jika penyakit ini sudah meluas, maka angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 60-70%. Pilihan terapinya adalah :
·         Radiasi. Terapi radiasi diberikan jika penyakit ini hanya melibatkan area tubuh tertentu saja. Terapi radiasi dapat diberikan sebagai terapi tunggal, namun umumnya diberikan bersamaan dengan kemoterapi. Jika setelah radiasi penyakit kembali kambuh, maka diperlukan kemoterapi. Beberapa jenis terapi radiasi dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker yang lain, seperti kanker payudara atau kanker paru, terutama jika klien berusia < 30 tahun. Umumnya klien anak diterpai dengan kemoterapi kombinasi, tapi mungkin juga diperlukan terapi radiasi dosis rendah.
·         Kemoterapi. Jika penyakit ini sudah meluas dan sudah melibatkan kelenjar getah bening yang lebih banyak atau organ lainnya, maka kemoterapi menjadi pilihan utama. Regimen kemoterapi yang umum diberikan adalah ABVD, BEACOPP, COPP, Stanford V, dan MOPP. Regimen MOPP (terdiri dari mechlorethamine, Oncovin, procarazine, dan prednisone) merupakan regimen standar, namun bersifat sangat toksik, sedangkan regimen ABVD (terdiri dari doxorubicin/Adriamycin, bleomycin, vinblastine, dan dacarbazine)  merupakan regimen yang lebih baru dengan efek samping yang lebih sedikit dan merupakan regimen pilihan saat ini. Kemoterapi diberikan dalam beberapa siklus, umumnya sela beberapa minggu. Lamanya kemoterapi diberikan sekitar 6-10 bulan.
·         Transplantasi sumsum tulang. Jika penyakit kembali kambuh setelah remisi dicapai dengan kemoterapi inisial, maka kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sumsum tulang atau sel induk perifer autologus (dari diri sendiri) dapat membantu memperpanjang masa remisi penyakit. Karena kemoterapi dosis tinggi akan merusak sumsum tulang, maka sebelumnya dikumpulkan dulu sel induk darah perifer atau sumsum tulang.

Kombinasi sediaan kemoterapi untuk Penyakit Hodgkin
1.      MOPP (Mekloretamin (nitrogen mustard), Vinkristin (onkovin), Prokarbazin, Prednison)
Merupakan sediaan pertama, ditemukan pada tahun 1969, namun obat ini terkadang masih digunakan.
2.      ABVD (Doksorubisin (adriamisin), Bleomisin, Vinblastin, Dakarbazin)
Obat ini dikembangkan untuk mengurangi efek samping dari MOPP (misalnya kemandulan menetap & leukemia), namun obat ini menyebabkan efek samping berupa keracunan jantung & paru-paru. Angka kesembuhannya menyerupai MOPP. ABVD lebih sering digunakan dibandingkan MOPP.
3.      ChiVPP (Klorambusil, Vinblastin, Prokarbazin, Prednison)
Pemakaian obat ini menyebabkan kerontokan rambut yg terjadi lebih sedikit dibandingkan pada pemakaian MOPP & ABVD
4.      MOPP/ABVD
Kedua obat ini digunakan secara bergantian dan dikembangkan untuk memperbaiki angka kesembuhan menyeluruh, tetapi hal tersebut belum terbukti. Angka harapan hidup bebas kekambuhan lebih baik dibandingkan sediaan obat lainnya.
5.      MOPP/ABVhibrid (MOPP bergantian dengan Doksorubisin (adriamisin), Bleomisin, Vinblastin)

10.  Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah :
         Ketidakmampuan untuk memiliki keturunan (infertilitas)
         Gagal fungsi hati
         Gangguan pada paru-paru
         Penyakit-penyakit kanker
         Efek samping dari radiasi (seperti nausea, disfagia, esofagitis, dan hipotiroid) dan kemoterapi (seperti penurunan jumlah sel darah, dapat menyebabkan meningkatnya risiko pendarahan, infeksi, dan anemia).

11.  Prognosis
Dengan penanganan yang optimal, sekitar 95% klien limfoma Hodgkin stadium I atau II dapat bertahan hidup hingga 5 tahun atau lebih. Jika penyakit ini sudah meluas, maka angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 60-70%.
Penderita yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi penyinaran atau kemoterapi atau yang membaik tapi kemudian kambuh kembali dalam 6-9 bulan, memiliki harapan hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan penderita yang mengalami kekambuhan dalam 1 tahun atau lebih setelah terapi awal. Kemoterapi lebih lanjut yang dikombinasikan dengan terapi penyinaran dosis tinggi dan pencangkokan sumsum tulang atau sel stem darah, bisa menolong penderita tersebut.















B.   KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

       I.      PENGKAJIAN
a)      Anamnesa :
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien.
Dari wawancara akan diperoleh informasi tentang biodata, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan/penyakit masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pola aktifitas sehari-hari, dan riwayat psikososial.

Kebutuhan Dasar
1.   Aktivitas/istirahat.
      Gejala :
         Kelelahan, kelemahan atau malaise umum
         Kehilangan produktifitas dan penurunan toleransi latihan
         Kebutuhan tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda :
         Penurunan kekuatan
         Bahu merosot
         Jalan lamban dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan
2.   Sirkulasi
Gejala :
         Palpitasi
         Angina/nyeri dada
Tanda :
         Takikardia, disritmia.
         Sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang)
         Ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu dan pembesaran nodus limfa (mungkin tanda lanjut)
         Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.
3.   Integritas Ego
Gejala :
         Faktor stress, misalnya sekolah, pekerjaan, keluarga
         Takut/ansietas sehubungan dengan diagnosis dan kemungkinan takut mati
         Takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi)
         Masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut kehilangan pekerjaan sehubungan dengan kehilangan waktu kerja.
         Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan menjadi orang yang tergantung pada keluarga.
Tanda :
         Berbagai perilaku, misalnya marah, menarik diri, pasif
4.   Eliminasi
Gejala :
         Perubahan karakteristik urine dan atau feses.
         Riwayat Obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorbsi (infiltrasi dari nodus limfa retroperitoneal)
Tanda :
         Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hepatomegali)
         Nyeri tekan pada kudran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali)
         Penurunan haluaran urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretal/ gagal ginjal).
         Disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut)
5.   Makanan/Cairan
Gejala :
         Anoreksia/kehilangan nafsu makan
         Disfagia (tekanan pada esofagus)
         Adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.
Tanda :
         Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder terhadap kompresi vena kava superior oleh pembesaran nodus limfa)
         Asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraabdominal)
6.   Neurosensori
Gejala :
         Nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbar, dan pada pleksus sakral
         Kelemahan otot, parestesia.
Tanda :
         Status mental : letargi, menarik diri, kurang minat umum terhadap sekitar.
         Paraplegia (kompresi batang spinal dari tubuh vetrebal, keterlibatan diskus pada kompresiegenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap batang spinal)
7.   Nyeri/Kenyamanan
Gejala
         Nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena misalnya, pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebral), nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus).
         Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol.
Tanda
         Fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.
8.   Pernapasan
Gejala
         Dispnea pada kerja atau istirahat
Tanda
         Dispnea, takikardia
         Batuk kering non-produktif
         Tanda distres pernapasan, contoh peningkatan frekuensi pernapasan dan kedalaman penggunaan otot bantu, stridor, sianosis.
         Parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal).
9.   Keamanan
Gejala :
         Riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitas imunitas seluler pencetus untuk infeksi virus herpes sistemik, TB, toksoplasmosis atau infeksi bakterial)
         Riwayat monokleus (risiko tinggi penyakit Hodgkin pada klien yang titer tinggi virus Epstein-Barr).
         Riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster.
         Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari terakhir sampai beberapa minggu (demam pel Ebstein) diikuti oleh periode demam, keringat malam tanpa menggigil.
         Kemerahan/pruritus umum
Tanda :
         Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 380C tanpa gejala infeksi.
         Nodus limfe simetris, tak nyeri, membengkak/membesar (nodus servikal paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan, kemudian nodus aksila dan mediastinal)
         Nodus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan.
         Pembesaran tosil
         Pruritus umum.
         Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo)
10. Seksualitas
Gejala
         Masalah tentang fertilitas / kehamilan (sementara penyakit tidak mempengaruhi, tetapi pengobatan mempengaruhi)
         Penurunan libido.

b)      TTV :
-          Tekanan darah meningkat
-          Respiratory rate meningkat
-          Nadi meningkat
-          Suhu meningkat > 38,50C

c)      Pemeriksaan fisik :
·         Inspeksi  :
-          Terdapat pembengkakan kelenjar di leher, ketiak, atau pangkal paha
-          Terlihat bahu merosot
-          Terdapat sianosis
-          Wajah tampak pucat
-          Klien tampak lemah
-          Terdapat pembengkakan atau cekungan yang spesifik di bagian ulu hati (splenomegali)
·         Palpasi    :
-          Edema teraba kenyal seperti karet
-          Kekuatan otot menurun
-          Badan teraba hangat
-          CRT > 3 detik

d)     Pemeriksaan diagnostik :
Pemeriksaan darah dapat bervariasi dari secara lengkap normal sampai abnormal. Pada tahap I sedikit klien mengalami abnormalitas hasil pemeriksaan darah.
·         SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.
·         Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap (gejala lanjut).
·         SDM dan Hb/Ht : menurun.
·         Pemeriksaan SDM : dapat menunjukkan normositik ringan sampai sedang, anemia normokromik (hiperplenisme).
·         LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau penyakit malignansi. Berguna untuk mengawasi klien pada perbaikan dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.
·         Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat
·         Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang digantikan oleh limfoma dan oleh hipersplenisme)
·         Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun, hasil negatif biasanya terjadi pada penyakit lanjut.
·         Besi serum dan TIBC : menurun.
·         Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.
·         Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.
·         Asam urat serum : meningkat sehubungan dengan destruksi nukleoprotein dan keterlibatan hati dan ginjal.
·         BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin, ASL (SGOT), klirens kreatinin dan sebagainya mungkin dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan organ.
·         Hipergamaglobulinemia umum : hipogama globulinemia dapat terjadi pada penyakit lanjut.
·         Foto dada : dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat, nodulus atau efusi pleural
·         Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang nyeri tekan : menentukan area yang terkena dan membantu dalam pentahapan.
·         Tomografi paru secara keseluruhan atau skan CT dada : dilakukan bila adenopati hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediatinum.
·         CT scan abdominal : mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit nodus pada abdomen dan pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada pemeriksaan fisik.
·         Ultrasound abdominal : mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal.
·         Scan tulang : dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang.
·         Skintigrafi Galliium-67 : berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodul, khususnya diatas diagfragma.
·         Biopsi sumsum tulang : menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
·         Biopsi nodus limfa : membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada adanya sel Reed-Sternberg.
·         Mediastinoskopi : mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal.
·         Laparatomi pentahapan : mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen nodus retroperitoneal, kedua lobus hati dan atau pengangkatan limfa (Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan resiko infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali klien mengalami manifestasi klinis penyakit tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.

    II.      DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1.      Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan oksigen dalam udara inspirasi sekunder terhadap obstruksi jalan nafas ditandai dengan batuk kering non-produktif, tanda distres pernapasan, peningkatan frekuensi pernapasan dan kedalaman, dispnea.
2.      Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel ditandai dengan adanya sianosis, klien tampak pucat, klien tampak lemah, CRT > dari 3 detik.
3.      Hipertermi berhubungan dengan peradangan ( inflamasi ) sistemik sekunder terhadap penurunan sistem kekebalan tubuh (sistem imun) ditandai dengan takikardi, kulit teraba hangat, suhu tubuh lebih dari 38,50C , anoreksia / kehilangan nafsu makan, peningkatan frekuensi pernapasan.
4.      Nyeri akut berhubungan dengan efek penekanan saraf nyeri terhadap  kanker getah bening (limfoma Hodgkin) ditandai dengan terkadang wajah tampak menahan nyeri, diaphoresis, peningkatan frekuensi nafas, perilaku distraksi (merintih), nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena misalnya, pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebral), nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus), fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.
5.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan ditandai dengan anoreksia/kehilangan nafsu makan, disfagia (tekanan pada esofagus), adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.
6.      Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan sekunder terhadap keringat malam dan peningkatan suhu tubuh ditandai dengan kelelahan, kelemahan atau malaise umum, kehilangan produktifitas dan penurunan toleransi latihan, penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan.
7.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakseimbangan neuromuskular ditandai dengan keterbatasan kekmampuan melakukan keterampilan motorik kasar dan motorik halus, keterbatasan ROM.
8.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke jaringan  ditandai dengan peningkatan frekuensi nafas, disritmia, kelemahan, kelelahan, pucat (sianosis).
9.      Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis pita suara sekunder terhadap tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal ditandai dengan suara serak (parau).