BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan salah satu Negara berkembang ditinjau dari segala aspek kehidupan.
Akan tetapi hal itu tidak semata-mata mebuat Indonesia lepas dari beberapa
masalah, terutama yang paling menonjol adalah masalah kesehatan. Saat ini
hampir sekitar 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, hal ini
disebabkan oleh banyak hal mulai dari himpitan ekonomi hingga hal terkecil
sekalipun.
Di Indonesia jumlah penderita
penyakit jiwa berat sudah cukup memprihatinkan, yakni mencapai 6 juta orang
atau sekitar 2,5% dari total penduduk. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Mental Rumah Tangga (SKMRT) pada tahun 1985 yang dilakukan terhadap penduduk di
11 kotamadya oleh Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia, ditemukan 185 per
1.000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan
jiwa baik yang ringan maupun berat. Dengan analogi lain bahwa satu dari lima
penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dan mental. Sebuah fenomena angka
yang sangat mengkhawatirkan bagi sebuah bangsa (Anonim, 2009). Hal ini tentu
bukanlah hal yang bias dipandang sebelah mata oleh bangsa ini.
Pada 2006, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Departemen Kesehatan RI
mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa (Anonim, 2009).
Sumber lain mengatakan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat
ini, menurut data Departemen Kesehatan tahun 2007, mencapai lebih dari 28 juta
orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 persen dari populasi dan 0,46
persen menderita gangguan jiwa berat (Anonim, 2010). Perkiraan yang sungguh
memprihatinkan sekaligus mengerikan. Memprihatinkan, karena selain
persoalan-persoalan kasatmata, negeri ini juga dicengkeram problema berdimensi
nonfisik. Mengerikan, karena bobot masalah yang ditanggung anak bangsa ini
rupanya semakin lama semakin tidak bias dihitung jumlahnya.
Saat ini gangguan jiwa
merupakan salah satu penyakit yang tidak bias dipandang sebelah mata lagi,
pemerintah harusnya mengambil langkah konkrit dalam hal ini. Akan tetapi
dibalik semua kekhawatiran kita akan penyakit jiwa ini, saat ini masyarakat
boleh berharap banyak pada kemajuan di bidang IPTEK khususnya di bidang Ilmu
KEdokteran JIwa. Saat ini para ahli semakin gencar untuk mengembangkan
terapi-terapi untuk pengobatan penyakit jiwa, dan salah satu terapi yang saat
ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat adalah terapi ECT (Electro
Convulsive Therapy).
Terapi ECT pada kalangan
masyarakat umum lebih dikenal dengan istilah terapi kejang listrik. Terapi
kejang listrik atau dikenal dengan electro-convulsive therapie (ECT), merupakan
terapi yang paling banyak digunakan oleh psikiater pada 1930-an, untuk segala
macam penyakit kejiwaan, akan tetapi kemudian pemakaiannya menurun dan cara
pemberiannya berubah setelah 1970-an (Yul Iskandar, 2010). Walaupun sempat
menjadi kontroversi, terpai ECT ini dinyatakan sangat aman dan tidak memiliki
efek samping yang berbahaya. Secara umum, ECT digunakan sebagai pilihan
pengobatan terakhir terutama pada anak dan remaja. Namun, hal ini dilakukan
setelah semua metode dan pengobatan pada pasien dinilai tak berhasil (Prita
Daneswari, 2010).
Terapi dengan konvulsi
sebenarnya telah dikenal sejak abad 16. Paraselsus (140-1541) menggunakan
camphor atau kamper atau kini disebut kapur barus. Kamper ini diberikan secara
oral untuk menginduksi kejang sebagai terapi pada pasien gangguan mental. Penggunaan
kamper ini bertahan sampai abad ke-18. Pada sekitar tahun 1917, Julius
Wagner-Jaugregg, seorang psikiater dari Wina, mulai menggunakan malaria sebagi
penginduksi demam untuk mengobati pasien dengan paresis umum pada pasien
gangguan mental (sipilis terminal). Pada tahun 1093, mulai dikenal pula penggunaan
insulin danps y c hos ur ge r y. Manfred Sakel dari Wina mengumumkan kesuksesan
pengobatan skizofrenia dengan insulin. Insulin ini digunakan untuk menginduksi
koma yang pada beberapa pasien menyebabkan kejang. Kejang ini yang diperkirakan
menyebabkan perbaikan pada pasien. Pada tahun 1934, Ladislaus von Meduna dari
Budapest meninjeksi kamper dalam minyak untuk menginduksi kejang pada pasien
dengan skizofrenia katatonik. Ini merupakan terapi konvulsi modern pertama.
Terapi dinyatakan berhasil, demikian juga dengan sejumlah pasien psikotik
lainnya. Pada tahun 1938, di Roma, Ugo Cerleti dengan asistennya Lucio Bini
melakukan ECT pertama pada pasien skizofrenia. ECT dilakukan sebanyak 11 kali
dan pasien memberikan respons yang bagus. Pengunaan ECT kemudian menyebar luas
di seluruh dunia. Kini ECT
digunakan terutama pada depresi mayor dan skizofrenia. (www.scribd.com). Hal ini menunjukkan berbagai usaha
telah dilakukan untuk mengembangkan terapi konvulsif ini, dann saat ini terapi
konvulsif menjadi salah satu alternative pengobatan bagi pasien penderita
gangguan jiwa.
Terapi konvulsif mungkin
merupakan salah satu terapi yang harusnya menjadi sebuah trend dan semakin
dikembangkan oleh para ahli, mengingat semakin meningkatnya angka kejadian
pasien dengan gangguan jiwwa di Indonesia, terlebih saat ini semakin banyak
factor pencetus dan predisposisi sehingga orang sangat mudah mengalami depresi
yang berujung pada gangguan jiwa permanen. Hal inilah yang melatarbelakangi
kami untuk mengangkat Terapi ECT sebagai salah satu tema dalam makalah kami,
dan kami ingin mebahas lebih jauh mengenai terapi ECT ini terlebih lagi dalam
bidang ilmu kami yaitu ILmu Keperawatan, sehingga kami berharap makalah ini
mampu meberikan sumbangsih pikiran bagi pembacanya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
masalah yang dapat kami rumuskan dan yang dibahas dalam karya tulis ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
sejarah awal Electro Convulsive Therapy?
2. Bagaimanakah
pengertian dari Electro Convulsive Therapy?
3. Bagaimanakah
cara kerja Electro Convulsive Therapy?
4. Bagaimanakah
reaksi atau mekanisme tubuh ketika mendapat Electro Convulsive Therapy?
5. Apakah
Indikasi, Kontra Indikasi, dan Efek Samping dari pemberian Electro Convulsive
Therapy?
6. Apakah
keuntungan dan kerugian dari pemberian Electro Convulsive Therapy?
7. Bagaimanakah
aspek legal dan etik dalam pemberian Electro Convulsive Therapy?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai penulis
melalui penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
sejarah awal dari Electro Convulsive Therapy
2.
Mengetahui
pengertian dari Electro Convulsive Therapy
3.
Mengetahui cara kerja Electro
Convulsive Therapy
4.
Mengetahui
reaksi atau mekanisme tubuh ketika mendapat Electro Convulsive Therapy
5. Mengetahui
Indikasi, Kontra Indikasi, dan Efek Samping dari pemberian Electro Convulsive
Therapy
6. Mengetahui
keuntungan dan kerugian dari pemberian Electro Convulsive Therapy
7. Mengetahui
aspek legal dan etik dalam pemberian Electro Convulsive Therapy
1.4 Manfaat
manfaat yang diharapkan oleh penulis
melalui penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat
memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat luas tentang manfaat dari
pemberian Electro Convulsive Therapy pada klien yang mengalami Gangguan Jiwa
2. Dapat
memperkaya khasanah medis dunia dan Indonesia khususnya dalam
penatalaksanaan penderita Gangguan Jiwa
3. Dapat
memberikan sumbangan pemikiran sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan dan
penatalaksanaan klien Gangguan Jiwa
4. Dapat
memberikan sumbangan pemikiran mengenai legal dan etik dari pemberian Electro
Convulsive Therapy
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum
2.1.1 Sejarah ECT
ECT pertama kali dilakukan di Roma pada tahun 1938. Ethiopia menerapkan lele listrik kepada orang-orang
(situs anatomi tidak diketahui) sebagai sarana untuk mengusir setan. Di tahun 18 ke belut listrik abad diaplikasikan ke kepala
(kondisi diperlakukan tidak diketahui). Namun, tidak ada sejarah yang jelas penerapan listrik
ke kepala untuk pengobatan gangguan mental sebelum 1938. Kejang-kejang telah diinduksi untuk
tujuan medis pada waktu yang berbeda atas berabad-abad. Paracelsus
(1490-1541) dikelola kamper melalui mulut untuk mendorong kejang-kejang dalam pengobatan gangguan mental.
Rekening pada 1785 muncul di
London Medical Journal of Kamper
disebabkan kejang-kejang untuk perawatan psikosis. ECT muncul pada waktu yang menarik. Hingga awal tahun 1920-an kecil dapat ditawarkan untuk orang dengan kelainan mental serius selain perawatan manusiawi.
Seperti peristiwa-peristiwa lain dalam
sains, Pada tahun 1946, Scribonius Largus menggambarkan penerapan listrik pada
ikan torpedo kepala sebagai pengobatan untuk sakit kepala. Pada tahun 1470, seorang Jesuit misionaris
Akibatnya popularitas ECT
terus menurun dan mencapai titik terendah pada era tahun 1970-an. Pada tahun
1980 tercatat hanya 30.000 pemakaian ECT di seluruh Inggris, angka ini jauh
dibandingkan catatan tahun 1972 yang masih mencapai 60.000.Ditemukannya obat
antidepresan trisiklik pada tahun 1950-an turut menggeser popularitas ECT.
Terlebih ketika antidepresan yang jauh lebih aman, selektif serotonin reuptake
inhibitors (SSRI) diperkenalkan tak lama kemudian.
Namun baru-baru ini, peneliti
dari Columbia University merancang prosedur ECT terbaru yang diklaim mampu
mengurangi efek samping. Jika pada ECT konvensional arus listrik dialirkan
selama 1,5 milidetik, maka pada prosedur terbaru dipersingkat menjadi 0,3
milidetik.
Prosedur baru ini bisa
mengurangi risiko kehilangan ingatan, serta memberikan waktu pemulihan 2 kali
lebih cepat. Hasil pengujian sementara menunjukkan keberhasilan terapi
meningkat hingga 73 persen dibandingkan prosedur konvensional. (Anonim,
2010).
2.1.2 Pengertian
a. Electro
Convulsive Therapy adalah Sistem Pengobatan (terapi) berupa pemberian
rangsangan listrik pada otak untuk pasien pada rumah sakit jiwa. Terapi
rangsangan listrik terbukti lebih manjur dibandingkan dengan penggunaan
obat-obatan.
b. ECT adalah pengobatan gangguan kejiwaan yang
menggunakan arus listrik singkat pada otak dengan menggunakan mesin khusus
dimana pasien di anastesi terlebih dahulu dan akan menimbulkan efek convulsi
karena relaksasi otot.
c. ECT adalah suatu terapi berupa aliran listrik ringan yang
dialirkan ke dalam otak untuk menghasilkan suatu serangan yang serupa dengan
serangan epilepsi.
d. Electroconvulsive
therapy (ECT), adalah suatu teknik terapi dengan menggunakan gelombang listrik
yang dapat membantu kesembuhan klien dengan depresi (Anonim. 2010)
Jadi, ECT merupakan pengobatan somatik untuk menginduksi kejang
grand mal secara buatan dg mengalirkan arus listrik ke dalam otak
melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis.
2.1.3 Prosedur Pemasangan
ECT dilakukan dengan mengirimkan sinyal listrik ke otak yang menyebabkan
kejang sementara. Mesti terlihat menakutkan, tak perlu khawatir karena sebelum
menjalaninya pasien terlebih
dahulu diberikan anestesi umum untuk menghilangkan rasa sakit pada tubuh.
Rangkaian terapi ECT biasanya dilakukan 6-12 kali selama beberapa minggu.
ECT dilakukan dengan mengalirkan listrik melalui dua elektroda yang
dilekatkan pada daerah temporal kepala. Sebelum menjalani pengobatan, pasien
diberikan anestesi umum dan menerima relaksasi otot guna mencegah cedera. ( Media
Hidup Sehat, 2010)
Persiapan sebelum dilakukan
tindakan ECT :
1. Inform
consent
2. Puasa
6 jam
3. Stop obat psikiatri oral
4. Premedikasi sedatif tidak direkomendasikan
karena dapat memperpanjang masa pulih.
5. Pilihan obat anestesi short acting (propofol
atau thiopental) + muscle relaxant (succinylcholine)
6. Untuk mencegah efek parasimpatik dapat
diberikan atropine.
7. Untuk mencegah efek simpatis pada pasien
dengan penyakit kardiovaskuler dapat diberikan atenolol 50 mg pada saat
preoperatif
8. Elektrode dapat diletakkan di sisi yang sama
pada kepala (unilateral) untuk mengurangi efek samping memory loss dan
meminimalisir efek kognitif ataupun diletakkan pada kedua sisi dari kepala (bilateral).
Namun metode bilateral biasanya lebih efektif dan lebih direkomendasikan
dibandingkan unilateral.
9. Level stimulus untuk bilateral ECT adalah ½
kali ambang kejang, sedangkan untuk unilateral bisa melebihi12 kali ambang
kejang. Ambang kejang dapat ditentukan dengan sistem trial and error ataupun
menggunakan standar yang sudah ada. (Electroconvulsif therapy, 2010)
Prosedur tindakan
ECT :
a.
Periksa badan pasien
b.
Sebelum dilakukan tindakan ECT pasien
telah dipuasakan
c.
Kosongkan kandung seni dan rektum
d.
Jika pasien menggunakan gigi palsu
sebaiknya dilepas
e.
Pasien dibaringkan terlentang
f.
Bersihkan bagian temporal yang akan
ditempel elektroda
g.
Beri bahan yang lunak pada rahang atas
dan bawah untuk menghindari gigitan yang keras
h.
Dagu pasien ditahan
i.
Tahan sedikit badan pasien agar pasien
tidak jatuh saat dilakukan tindakan
j.
Elektroda ditekan pada temporal dengan
kekuatan sedang
2.1.4
Mekanisme Kerja
Didalam
buku psikiatri dijelaskan bahwa terapi elektrokonvulsi dilakukan dengan cara
mengalirkan listrik sinusoid ketubuh sehingga penderita menerima aliran listrik
yang terputus-putus. Alat yang digunakan dalam terapi ini dinamakan konvulsator
didalamnya terdapat pengatur waktu voltase yang merupakan pengatur waktu
otomatis memutuskan aliran listrik yang keluar sesudah waktu yang ditetapkan.
Prinsip
kerja dari terapi elektrokonvulsi ialah aliran listrik dimasukkan kedalam
kepala orang yang mengalami gangguan jiwa, setalah itu orang yang menjalaninya
menjadi tidak sadar seketika dan konvulsi yang terjadi mirip epilepsy, diikuti
fase klonik, kemudian rasa relaksasi otot dengan pernapasan dalam dan keras.
Orang menjadi tidak sadar kurang lebih 5 menit dan biasanya setelah bangun dan
sadar,kemudian timbul rasa kantuk,kemudian orang tersebut tertidur.( Residen
Bagian Psikiatri UCLA. 1997).
2.2 Indikasi, Kontraindikasi dan Efek Samping ECT
2.2.1
Indikasi
Adapun
indikasi dari penggunaan ECT adalah sebagai berikut:
- Depresi berat à termasuk depresi involutif (pd usia
lanjut)
- Gangguan bipolar
- Schizophrenia , terutama :
·
Tipe katatonik
·
Tipe schizoafektif
·
Akut
2.2.2 Kontraindikasi
Adapun kontraindikasi dari ECT yang mutlak
adalah:
- SOL (Space Occupying Lesion)
- Infark Myocard
Sedangkan kontraindikasi dari ECT yang relative
adalah:
- Penyakit
jantung: dekompensasio kordis, angina pektoris, A-V Block, aneurisma
aorta, dll
- Kelainan tulang à
skoliosis, kiphosis, dll
- Kehamilan à keguguran
- Hipertensi berat
- Hiperpireksia
- Diatesa Haemoragic
- Epilepsi
- Ansietas berat
(Anonim, 2009).
2.2.3 Efek Samping
Adapun efek sampng dari ECT adalah:
1. Patah
tulang Vertebra
2. Luksasi
mandibula
3. Apnoe
memanjang
4. Aspirasi
pneumonia
5. Kematian
6. Hilang
ingatan sementara
7. Aritmia
(Syamsir BS, Bahagia Lobis, 2009).
(Syamsir BS, Bahagia Lobis, 2009).
2.3 Keuntungan dan Kerugian ECT
2.3.1 Keuntungan
Efektifitas
ECT dalam mengobati pasien dengan gangguan jiwa karena adanya peningkatan
sensitivitas reseptor terhadap neurotransmitter. ECT meningkatkan pergantian
dopamin, serotonin dan meningkatkan pelepasan norepineprin dari neuron-neuron
ke reseptor. ECT juga akan menstimulasi pelepasan serotonin.
Pada depresi terjadi gangguan neurotrasmitter otak yaitu penurunan
dopamin, serotonin dan norepineprin. Dengan ECT penurunan tersebut dapat
ditingkatkan, sehingga pasien depresi dapat disembuhkan dengan pemberian ECT. ECT adalah terapi dengan
melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering digunakan
pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan
respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan
risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan risiko
bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek.
2.3.2 Kerugian
Tidak ada kejelasan mengapa ECT bisa menghasilkan sikap yang
negatif. Salah satu faktor mungkin karena sikap fanatik kita, yaitu sikap jijik
untuk melakukan tindakan biologis tertentu. Kejang –kejang, seperti muntah adalah bukan sesuatu suka kita tonton.
Mungkin ada faktor evaluasi. Kejang-kejang dan muntah, dapat
mengindikasikan sebagai penyakit yang mungkin dapat menular. Masyarakat
secara genetis diprogramkan untuk takut dan menghindari situasi seperti itu. Kita menghindari berdiskusi topik kejang-kejang
karena beberapa orang yang menderita epilepsy kurang
setuju dengan terapi ECT.
ECT sebagai alat terapi orang
yang mengalami gangguan jiwa karena banyak efek samping yang ditimbulkan
seperti yang Patah tulang vertebra, Kehilangan memori dan kekacaun mental
sememtara, Dislokalisasi sendi rahang, Amnesia, Nyeri
kepala, bahkan samapi kematian. Risiko yang ditimbulkan juga cukup berbahaya
seperti kerusakan otak, kematian dan kehilangan memori permanen. Dari segi etik
juga tidak etis memperlakukan manusia seperti hewan percobaan walaupun dibilang
cukup efektif untuk terapi gangguan kejiwaan tapi sangat kurang etis, apalagi
untuk budaya kita.(http://www.ect.org/effects/testimony.html).
2.4 Legal Etik Terapi Electrokonvulsif (ECT)
Pemberian
electroconvulsive therapy ( ECT ) pada pasien dengan gangguan jiwa menjadi dilema
etik dalam penerapannya karena dilihat dari efek samping yang dapat terjadi
seperti gangguan pada memori ( retrograde dan anterograde amnesia ) menjadi
pertimbangan dalam pelaksanaannya. Studi etik dalam perawatan kesehatan menekan pada pemecahan dilema etik
yang sering terjadi karena telah begitu banyak situasi yang membingungkan
secara moral muncul dalam perawatan kesehatan, namun etik tidak boleh berkurang
menjadi hanya suatu pertimbangan terhadap masalah sulit. Etik keperawatan
dihubungkan dengan hubungan antar masyarakat dan dengan karakter serta sikap
perawat terhadap orang lain. Pengetahuan perawat diperoleh melalui keterlibatan
pribadi dan emosional dengan orang lain dengan ikut terlibat dalam masalah
moral mereka, (cooper, 1991). Etik
keperawatan merupakan sudut pandang pada apa yang baik dan benar untuk
kesehatan dan kehidupan manusia. Mengarahkan bagaimana seorang perawat harus
bertindak dan berinteraksi dengan orang lain. Perawat etis bertindak dan
memperlakukan orang lain dengan cara tertentu yang konsisten dengan norma
keperawatan.
Kode etik keperawatan membantu
perawat dalam pertimbangan moral, dimana prinsip moral dalam praktek
keperawatan tersebut yaitu :
a. Autonomi
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk
memilih rencana kehidupan dan cara mengatur dirinya. Menghargai harkat dan
martabat manusia sebagai individu yang dapat memutuskan yang terbaik untuk
dirinya. Setiap tindakan keperawatan harus melibatkan pasien dan berpartisipasi
dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan asuhan keperawatan. Dalam
pemberian terapi pasien memiliki kebebasan menerima semua prosedur terapi yang
akan diberikan.
b. Beneficience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang
lain. Perawat secara moral berkewajiban membantu orang lain melakukan sesuatu
yang menguntungkan dan mencegah timbulnya bahaya. Dilihat dari tujuan pemberian
electroconvulsive therapy ( ECT ) baik untuk kesembuhan pasien jiwa dan sesuai
dengan prinsip tersebut.
c. Nonmaleficience
Merupakan
penghindaran dari bahaya, dapat dilihat kontinum rentang dari bahaya yang tidak
berarti sampai menguntungkan orang lain dengan melakukan yang baik. Menuntut perawat menghindari yang
membahayakan pasien selama pemberian asuhan keperawatan. Dari prinsip ini pemberian electroconvulsive
therapy ( ECT ) tidak sesuai karena dapat menimbulkan bahaya, namun jika
dilihat dari tujuan pemberian pelaksanaan terapi ini sesuai dengan prinsip
beneficience yang semata-mata untuk kesembuhan pasien jiwa.
d. Justice
Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku
adil terhadap semua pasien sesuai dengan kebutuhan. Setiap individu mendapat
tindakan yang sama berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk
kebaikan kehidupan seseorang. Prosedur terapi ini pada setiap orang yang
menerimanya akan sama dalam setiap pelaksanaannya.
e. Kejujuran, Kesetiaan dan Kerahasiaan
Kejujuran adalah kewajiban untuk
mengungkapkan yang sebenarnya atau tidak membohongi pasien didasarkan pada hubungan
saling percaya. Kerahasiaan adalah kewajiban untuk melindungi informasi rahasia. Kesetiaan
adalah kewajiban untuk menepati janji. Dalam pelaksanaan terapi ini perawat
harus secara jujur memberi informasi mengenai segala tindakan yang akan
dilakukan baik itu tujuan, efek samping maupun biaya dari tindakan yang akan
dilakukan.
Dalam perawatan kesehatan, pasien jiwa dan keluarga seringkali memiliki
persepsi yang berbeda yang sebabkan oleh penyakit pasien, kurang informasi
teknis, regresi yang disebabkan oleh rasa sakit dan penderitaan, serta
lingkungan yang tidak dikenal. Peran perawat sebagai pelindung sangat penting
dalam etik keperawatan. Dari semua prinsip tersebut pasien jiwa atau keluarga
berhak menerima informed consent sebelum terapi dilaksanakan. Dalam hal ini
pasien berhak mengetahui segala informasi mengenai prosedur pelaksanaan electroconvulsive therapy ( ECT ), indikasi
dan kontraindikasi pemberian, mekanisme kerja, hasil yang akan didapat dan efek
sampingnya. Menurut perundangan WHO tentang kesehatan jiwa menyatakan
ECT harus diberikan hanya setelah memperoleh informed consent. Sesuai dengan UU No.29/2004 tentang Praktek
Kedokteran, Pasal 52 : Pasien,
dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
- Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
- Meminta
pendapat dokter atau dokter gigi lain;
- Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
- Menolak tindakan medis; dan
- Mendapatkan isi rekam medis.
Pasien jiwa dan keluarga juga
memiliki hak untuk menyetujui persetujuan tersebut dilihat pada Pasal 39 : Praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa penelitian
sebelumnya penggunaan ECT banyak menimbulkan efek samping. Namun baru-baru ini,
peneliti dari Columbia University merancang prosedur ECT terbaru yang diklaim
mampu mengurangi efek samping. Jika pada ECT konvensional arus listrik
dialirkan selama 1,5 milidetik, maka pada prosedur terbaru dipersingkat menjadi
0,3 milidetik.
Prinsip
kerja ECT ialah aliran listrik dimasukkan ke dalam kepala orang yang mengalami
gangguan jiwa hingga pasien tidak sadar dan diikuti konvulsi yang diikuti fase
klonik, rasa relaksasi otot dengan pernapasan dalam dan keras.
ECT memiliki keuntungan dan
kerugian. Dimana pernyataan tersebut bila dilihat dari segi perseorangan /
orang yang tidak mengalami gangguan depresi atau sebagainya, menganggap ECT
sangat memiliki kerugian. Akan tetapi sebaliknya, bagi para penderita depresi
atau sebagainya, ECT merupakan keuntungan bagi mereka, walaupun tidak seutuhnya
100%.
Pemberian
electroconvulsive therapy ( ECT ) pada pasien dengan gangguan jiwa menjadi
dilema etik dalam penerapannya karena dilihat dari efek samping yang dapat
terjadi. Sehingga sebagai seorang perawat kita harus memiliki kemampuan untuk
menghadapi permasalahan tersebut.
Dalam perawatan kesehatan,
pasien jiwa dan keluarga seringkali memiliki persepsi yang berbeda yang
sebabkan oleh penyakit pasien, kurang informasi teknis, regresi yang disebabkan
oleh rasa sakit dan penderitaan, serta lingkungan yang tidak dikenal. Peran
perawat sebagai pelindung sangat penting dalam etik keperawatan.
Pasien jiwa atau keluarga
berhak menerima informed consent sebelum terapi dilaksanakan. Dalam hal ini
pasien berhak mengetahui segala informasi mengenai prosedur pelaksanaan electroconvulsive therapy ( ECT ), indikasi
dan kontraindikasi pemberian, mekanisme kerja, hasil yang akan didapat dan efek
sampingnya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman atau masalah kebelakangnya.
3.2 Saran
Seiring berjalannya waktu ilmu
pengetahuan terus berkembang dan berbagai hal-hal baru mulai ditemukan. Seperti
halnya terapi elektrokonvulsif yang dapat digunakan sebagai salah satu metode
untuk menyembuhkan gangguan jiwa khususnya depresi berat. Namun, masih banyak
hal yang perlu diteliti mengenai metode tersebut. Oleh karena itu penulis
menyarankan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dalam memilih suatu
metode pengobatan karena disamping memberikan manfaat yang cukup besar juga
dapat menimbulkan efek samping yang membahayakan bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Gangguan
Jiwa MEngancam BAngsa. Online http://erabaru.net/kesehatan/34-kesehatan/2183-gangguan-jiwa-mengancam-bangsa (Akses: 9 November 2010)
Anonim. 2009. 1
dari 4 Orang Indonesia Mengalami GAngguan JIwa. Online http://imron46.blogspot.com/2009/12/1-dari-4-orang-indonesia-mengalami.html (Akses: 9 November 2010)
Anonim. 2010. Penderita Gangguan Jiwa Ringan Indonesia Meningkat. Online http://www.tribun-timur.com/read/artikel/100259/sitemap.html (Akses: 10 November 2010)
Yul Iskandar. 2010. Terapi Kejang LIstrik. Online http://web.bisnis.com/konsultasi/4id472.html?PHPSESSID=j6avm8nrm81kn5ici51mg3jrr2 (Akses: 10 November 2010)
Prita Daneswari. 2010. Terapi Kejut Listrik Sembuhkan Depresi Akut.
Online http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2010/08/19/3012/13/Terapi-Kejut-Listrik-Sembuhkan-Depresi-Akut (Akses: 11 November 2010)
http://www.scribd.com/doc/37699083/ECT (Akses: 11 November 2010)
Anonim. 2010. http://www.detikhealth.com/read/2010/08/03/104026/1412378/763/nyeri-dan-gelisah-bisa-ditarik-gelombang-listrik?d883301heal (Akses: 12 November 2010)
Anonim.
2010. http://berita.liputan6.com/luarnegeri/200501/94487/class=%27vidico%27 (Akses: 12 November 2010)
Anonim. 2010. http://www.news-medical.net/news/2005/04/20/19/Indonesian.aspx (Akses: 12 November 2010)
Residen
Bagian Psikiatri UCLA. 1997. Buku
Saku Psikiatri. Jakarta :EGC. http://books.google.co.id/books?id=mfsgp_zkmWwC&printsec=frontcover&hl=en#v=onepage&q&f=false.
(Akses : 11 November 2010)
Anonim. 2009. Terapi
Dalam Psikiatri. http://bahanpsikiatri.files.wordpress.com/2009/11/terapi-dalam-psikiatri.ppt. (Akses: 11 November 2010)
Syamsir
BS, Bahagia Lobis.2009. Psikofarmaka,
Terapi Kejang Listrik & Psikoterapi. http://ocw.usu.ac.id/course/download/1110000129-brain-and-mind-system/bms166_slide_psikofarm (Akses: 10 November 2010)
Anonim
2009. ECT. Online_ http://www.ect.org/effects/testimony.html
(Akses: 10 November 2010)
Anonim. 2010. Electro
Convulsif Therapy (ECT). Online. www.drvegan.wordpress.com
(Akses: 10 November 2010)
Anonim. 2009. Isu
Etik Dan Legal Dalam Keperawatan Jiwa. Online
http://artcell.byethost6.com/art/buat07/mhn1/(New)MHNI-legal%20and%20ethics.ppt (Akses: 12 November 2010)
Potter, Patricia
A. & Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan. Jakarta
: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar